Are You Really the One?


Are You Really the One?

By EWK




Mentari di ufuk timur mulai naik. Keramaian telah menggerayangi seluruh isi kota. Tak terkecuali di sini, tempat aku menunggu bus. Tepat pukul 07.45 WIB bus datang. Aku selalu datang setengah jam lebih awal untuk sekedar membeli pisang goreng dan kopi hangat di pojok halte sambil melihat silih berganti orang naik bus.




Aku sendiri sudah sekitar 2 bulan pindah ke daerah ini. Selama itu pula aku menunggu bus di halte ini. Halte berwarna biru muda yang sedikit kotor. Ukurannya sekitar 4 meter. Letaknya tak jauh dari perempatan jalan. Masih banyak orang yang menggunakan halte ini karena bus menuju ke pusat kota hanya berhenti di sini. Orang-orang yang bekerja di pusat kota akan menunggu di sini karena pemberhentian selanjutnya berjarak puluhan kilometer dari sini. Bus ke pusat kota tersebut tak akan mau berhenti disembarang tempat.

Bus datang tepat pukul 07.45 WIB. Aku buru-buru menghabiskan segelas kopi yang dari tadi sudah disajikan dan segera masuk ke bus. Jika terlambat, maka aku harus menunggu bus selanjutnya pada pukul 08.30 WIB. Dengan kata lain, aku akan terlambat masuk ke kantor.

“Bu, ini uangnya dan ambil saja kembaliannya,” kataku sambil memberi uang.

“Makasih, Mas,” jawab ibu penjaga warung.


#



Sekitar pukul 17.30 aku tiba di halte itu lagi. Tubuhku terasa begitu lelah setelah bekerja seharian. Begitu tiba di rumah, aku segera mandi dan tidur. Esok paginya aku pergi bekerja lagi dan menunggu bus di tempat yang sama sambil minum kopi dan makan pisang goreng. Namun, kali ini ada yang berbeda. Di sudut tempat duduk halte bus, seorang wanita cantik duduk dengan manis. Ia mengenakan kemeja merah muda bergaris dan rok abu-abu setinggi betis. Ia tampak dewasa dengan rambut terurai. Aku bertanya-tanya siapakah gadis itu karena tak biasanya dia ada. Lamunanku terpecah ketika wanita tersebut memasuki bus yang tiba-tiba datang.


“Mas, itu kan bus ke kantor mas,” kata ibu penjaga warung.

Aku sejenak bengong mendengar kata-kata ibu penjaga warung. Entah bagaimana pikiranku sesaat tidak disana. Begitu menyadari kata-kata ibu penjaga warung, aku panik. Bus selanjutnya akan datang dalam 45 menit lagi, artinya aku terlambat ke kantor. Sial.


#


Esok paginya kulihat dia lagi. Kali ini aku langsung menyapanya. Entah darimana keberanian itu muncul. Dalam pikiranku hanya terpikir bahwa kesempatan ini belum tentu akan datang lagi.

“Hai, naik bus 45 juga?” tanyaku.

“Oh, iya nih,” jawabnya.

“Kamu baru pindah ya? Aku baru melihatmu kali ini,” tanyaku lagi.

“Iya, aku kerja di kantor konsultan Alabana di pusat kota dan baru pindah kesini,” jelasnya.

Wah, itu kantor persis sebelah kantorku. Sebuah pertanda bagus. Aku berkenalan dengannya. Namanya Sintha. Aku berusaha terus mengobrol dengannya hingga kami sampai di depan kantor. Kami sempat bertukar nomor telepon. Setelah pertemuan tersebut, kami sering sms sekedar bertanya kabar. Tiap pagi aku selalu melihatnya duduk di halte di tempat duduk paling kanan. Sesekali aku ikut menunggu bus di dekatnya sambil mengobrol. Lama-kelamaan aku hafal kapan ia datang ke halte. Aku pun berusaha untuk datang lebih awal darinya agar bisa mengobrol lebih banyak.

Pada suatu pagi aku melihat ia sedang menuntun seorang nenek untuk menyeberang jalan.

“Oh, sungguh baik hatinya,” pikirku.

“Itu tadi nenekmu?” Aku menghampirinya sambil bertanya.

“Bukan, nenek itu mau menyeberang jalan untuk menuju ke pasar. Kendaraan yang begitu ramai membuatnya susah menyeberang. Jadi, aku membantunya,” jelasnya.

“Ohhh,” jawabku singkat.

Kami kemudian melanjutkan pembicaraan hingga sampai di kantor. Lalu, sore harinya secara kebetulan kami bertemu. Padahal selama ini aku tak pernah berpapasan dengannya. Mungkin jam kerjanya agak berbeda karena ia bekerja sebagai konsultan.

“Hai, Sintha!” teriakku.

“Hai, Rio. Baru pulang?” tanyanya.

“Iyanih. Aku biasa pulang sore, tetapi kebetulan bos sedang baik, jadi seluruh karyawan boleh pulang lebih awal,” jelasku.

“Kalau aku sih seringnya pulang jam segini, kerjaan bisa dibawa ke rumah,” jelas Sintha.

“Emm, boleh nggak aku main ke rumahmu!” Entah darimana ucapan itu muncul. Seperti keceplosan yang disengaja. Aku harap-harap cemas melihat reaksinya.

“Boleh kok!” jawab Sintha.

Aku merasa kaget sekaligus lega mendengar jawabnnya. Tanpa piker panjang aku langsung mengajaknya ke halte untuk menunggu bus. Tak lama bus datang dan kami menaikinya. Setelah menggunakan bus dari kota sekitar 40 menit, kami pun masih harus melanjutkan dengan berjalan kaki menuju rumah Sintha. Kami berjalan menyusuri gang-gang yang lumayan sempit. Setelah sekitar 10 menit, kami sampai di rumah Sintha. Sejenak aku terdiam melihat rumah Sintha. Rumahnya adalah panti asuhan anak-anak yatim dan anak jalanan.

“Jangan kaget. Ini rumahku sekaligus rumah mereka. Aku adalah anak yatim piatu. Aku tau bagaimana rasanya hidup tanpa orang tua. Sendirian di jalan, kesana-kemari. Akhirnya aku bertekad untuk membuka sebuah panti asuhan ketika aku dewasa untuk menolong anak-anak yang senasib denganku,” terangnya.

Aku mendengar penjelasan Sintha dengan seksama. Aku begitu kagum padanya. Aku juga sedikit malu karena sejak kecil aku menerima semua dari orang tua dan belum mampu melakukan apapun yang berguna bagi orang lain. Sintha begitu sempurna. Cantik, ramah, dan mau menolong orang lain. Apakah ia yang aku cari selama ini? Benarkah Tuhan menurunkanmu untukku? Entahlah, yang jelas aku pulang dengan perasaan yang begitu senang.

Hari demi hari berlalu. Aku semakin dekat dengan Sintha. Aku sadar bahwa aku menyukainya. Seringkali aku ingin mengatakan padanya bahwa aku menyukainya. Akan tetapi, sering gagal karena aku terlalu takut dan gugup.

#

Suatu pagi aku datang lebih awal ke halte bus. Aku memesan kopi dan pisang goreng untuk sarapan. Tak lama kemudian aku melihat Sintha datang dan duduk di tempat biasa untuk menunggu bus. Hampir saja aku memanggilnya, tapi terhenti ketika tiba-tiba ada seseorang yang menghampirinya. Aku merasa tak asing dengan orang tersebut. Setelah dilihat-lihat lebih teliti, aku mulai mengenali siapa orang yang tersebut. Ia adalah sahabatku. Sahabat akrab sekaligus teman sekantor. Tanpa pikir panjang aku menghampiri mereka.

“Hai, Rio,” sapa Sintha begitu melihatku berjalan ke arahnya.

“Hai, Sin. Pagi banget udah mau ngantor aja,” candaku.

“Haha, bisa aja. Eh, kenalin ini Tama pacarku. Tama, ini Rio temanku yang sering aku ceritain,” kata Sintha.

“Oh, kami udah kenal kok. Dia sahabatku. Oh, pacar…. Hah, Pacar?!” jawabku kaget.

“Ya, dia pacarku,” tambah Sintha.

Saat itu juga dunia terasa runtuh buatku. Sesaat pikiraku melayang entah kemana. Dadaku terasa panas dan sakit. Bagaimana mungkin ternyata kau adalah pacar sahabatku. Hancurlah semua harapanku.

“Rio, Rio..Rio!” Teriak Tama.

“Eh,.. i.. iya,” jawabku kaget.

“Kamu ngelamun?” Tanya Tama, “Ini loh yang sempat aku ceritain waktu itu.”

“Eng… enggak kok,” jawabku gugup karena masih syok. “Eh, aku ke warung dulu ya, belum bayar kopi.”

“Oh, oke. Sampai ketemu di kantor,” jawab Tama.

Aku berjalan kembali ke warung tempat aku beli kopi dengan perasaan hampa. Aku sebenarnya telah membayar semua, itu hanya alasanku untuk bisa menghindari mereka. Aku duduk kembali di warung tenda kecil sambil memandangi Tama, sahabatku, dan Sintha, perempuan yang kusukai. Mereka tampak bahagia.

“Dengan berat hati, kurelakan saja kau dengan Tama. Ia sahabatku dan ia orang yang baik. Asal kau bahagia, meski hati ini menangis. But, you still be the one I’ve been searching for…,” pikirku.

End

Are You Really the One? Are You Really the One? Reviewed by Admin on January 22, 2017 Rating: 5

No comments:

Comment in a good way. It is representing you.

Powered by Blogger.