Kupu Dayoh
“Na… na..na..na.., Boni anak haram…,” kata sekelompok anak kecil berseragam putih merah ditengah terik matahari.
Beberapa dari mereka terus
meneriaki anak kecil bernama Boni yan sejak tadi menahan tangis hingga tiba
dirumah mereka masing-masing. Beberapa lagi memilih diam karena tidak ada
balasan makian dari Boni. Boni terus murung dan menundukkan kepala. Tak ada
lagi kata yang mampu ia katakan setelah berhari-hari ia membalas makian dari
teman-temannya. Lagipula, yang dikatakan teman-temannya memang masuk akal. Hanya
saja, Boni merasa sedih jika ia terus diejek oleh temannya.
Beberapa saat kemudian Boni
berdiri di depan gerbang dari kawat yang sudah berkarat dan berlubang di
sana-sini. Dihadapannya sebuah rumah sangat sederhana menyambutnya. Kursi rotan
yang reyot dan baru saja dibetulkan kemarin, juga jendela yang tak layak
disebut jendela karena tak bisa dibuka. Akan tetapi, di ujung kursi reyot duduk
seseorang yang sangat ia sayangi. Orang yang tersenyum penuh kehangatan meski
peluh diwajahnya tak kunjung reda. Kondisi tubuhnya juga masih terlihat bugar.
Akan tetapi Boni tahu, kekuatan itu ada karena dirinya. Dialah Nenek Boni yang
selalu menanti Boni pulang sembari bergelut dengan sabut kelapa yang siap
dijadikan keset.
“Boni, sudah pulang?’ sahut Nenek.
“Ya, Nek? Gurunya ada rapat,”
jelasnya.
Nenek memberi kode kepada Boni
untuk segera ganti pakaian dan makan siang. Melihat isyarat Nenek, Boni
bergegas melaksanakannya. Wajah Boni yang sedih setelah mendapat ejekan dari
teman-temannya seakan berubah setelah melihat sosok di depan rumah tadi.
“Nek, sini Boni bantu?” ujar Boni
setelah selesai makan.
“Tak usah nak, kamu belajar saja
sana!” perintah Nenek.
“Ah, Nenek! Biasanya juga Boni
bantuin,” kata Boni yang langsung mengambil beberapa sabut kelapa untuk
dianyam.
Nenek hanya tersenyum melihat Boni.
Entah apa arti dibalik senyum itu. Mungkin bahagia.
“Nek?” kata Boni memecah
keheningan.
“Ya?”
“Bapak dan Ibu Boni mana sih?”
tanya Boni dengan berusaha bersikap wajar.
“Sudahlah, jangan pikirkan hal
itu. Apa Nenek dan Kakek kurang memberi kasih sayang?” jelas Kakek memotong
pembicaraan Boni dan Nenek. Ia masih memikul cangkul di pundaknya.
“Oh, Kakek baru pulang? Udah
makan?” tanya Boni.
“Iya, tadi lumayan banyak yang
harus dicangkul dan Kakek tadi sudah makan bekal dari Nenek,” jelasnya.
“Oh, baiklah”
Sebelum Boni bertanya lebih
banyak mengenai orang tuanya, ia segera berpikir kembali. Ia tak mampu untuk
bertanya lagi karena wajah Nenek begitu sedih mendengar pertanyaan Boni tadi. Boni
mengurungkan nat untuk bertanya lagi. Meski ia terbanyang esok hari yang penuh
dengan ejekan teman-teman bahwa ia anak haram.
#
Beberapa hari berlalu dengan
berat bagi Boni. Apa yang ia bayangkan memang terjadi. Teman-temannya selalu
mengejeknya.
“Nenek!” teriak Boni.
“Ada apa Bon?” jawab Nenek.
“Ada kupu-kupu masuk rumah,
warnanya cokelat,” terang Boni sembari melihat kupu-kupu yang terbang
mengelilingi seisi rumah.
“Oh, itu kupu dayoh namanya,”
terang Nenek.
“Apa itu kupu dayoh Nek?” tanya Boni.
“Kupu dayoh itu salah satu
serangga yang bisa terbang. Orang tua zaman dulu berkata bahwa kupu-kupu ini
melambangkan bahwa seorang tamu akan datang ke rumah yang didatangi kupu ini,”
jelas Nenek.
“Oh, gitu… siapa ya kira-kira
yang akan datang ke rumah ini? Eh, ada satu lagi Nek, lihat itu!” teriak Boni
girang.
Nenek berlalu pergi sementara Boni
terus mengamati sepasang kupu-kupu itu.
Selama beberapa hari sepasang
kupu-kupu itu belum juga pergi. Boni sudah berulang kali membayangkan dan
menerka siapa yang akan datang adalah orang tuanya. Ia begitu bahagia bila itu
terjadi.
#
Uhuk…uhuk
“Boni, kamu batuk?” tanya Nenek.
Nenek kemudian beranjak dari
ruang tamu ke kamar Nenek untuk melihat Boni sedang menggigil. Wajahnya pucat. Nenek
memeriksa keningnya.
“Ya Allah, panas sekali,” kata Nenek
dalam hati.
Nenek memanggil Kakek. Setelah
berbicara selama beberapa menit, mereka memutuskan untuk membawa Boni ke rumah
sakit.
“Kek, nanti biayanya gimana?”
tanya Nenek gelisah.
“Sudahlah, itu dipikirkan nanti,
yang penting Boni sembuh dulu,” terang Kakek.
Kemudian Kakek menggendong Boni
ke rumah sakit terdekat.
“Suster! Tolong, ada orang
sakit!” teriak Kakek sesampainya di rumah sakit.
“Ya, pak? Silakan dibaringkan di
sana dan bapak mengurus administrasinya,” kata salah satu suster.
“Tapi suster, kami belum ada uang,”
kata Kakek memelas.
“Oh, maaf Kek, setelah administrasi
selesai baru kami menangani pasien,” terang suster.
“Tapi saya takut terjadi apa-apa
dengan cucu saya, panasnya tinggi. Nanti segera kami bayar,” mohon Kakek dengan
nada memelas.
“Maaf, Kek, itu sudah prosedur
rumah sakit,” jelas suster seraya pergi.
Tanpa pikir panjang, Kakek segera
mencari rumah sakit lain. Di tengah terik matahari Kakek menggendong Boni
mencari rumah sakit yang mau menerimanya. Setelah mengunjungi beberapa rumah
sakit, baju Kakek kini basah kuyup oleh keringat. Sementara itu, Nenek jalannya
mulai tertatih.
“Bagaimana Nek? tak ada yang mau
menerima orang miskin seperti kita. Orang kalangan bawah memang tak boleh
sembuh,” kata Kakek mulai putus asa.
“Itu Kek, masih ada satu!” kata Nenek
menunjuk rumah sakit terakhir yang mereka temui setelah mencari-cari selama
berjam-jam.
Kakek segera berlari menuju rumah
sakit tersebut dengan sisa-sisa tenaganya.
“Maaf kek, kalau Kakek tak punya
uang apa Kakek punya kartu miskin atau askeskin atau BPJS?” tanya petugas rumah
sakit.
“Tidak, mbak!” jawab Kakek
kecewa.
Pikirannya melayang membayangkan
susahnya mendapat kartu itu. Dengan birokrasi yang panjang dan banyak
kecurangan. Dengan ijazah SD, Kakek tak tahu-menahu soal birokrasi. Ia bahkan
sempat dikira berbohong. Ujung-ujungnya ia tak berhasil mendapat kartu itu.
Kabarnya akhir-akhir ini ada kemajuan pelayanan, tetapi Kakek belum sempat
mengurus lagi.
Kakek duduk lemas di depn tangga
rumah sakit. Pikirannya bercampur aduk. Begitu juga dengan perasaanya.
Bulir-bulir kepedihan tak dapayt disembunyikan kelopak matanya.
“Yuk, kita pulang!” ajak Nenek.
Mereka berdua pulang degan hampa.
Mereka sangat khawatir dengan keadaan Boni. Hingga pukul delapan malam panasnya
belum juga turun.
#
Hu… hu… hu… hu…
Suara tangis memecah keheningan
pagi. Waktu menunjukkan pukul 04.00. Suara itu berasal dari kamar depan tempat Boni
tidur. Kakek segera menuju kamar itu.
“Kakek, kenapa Boni tak mau
bangun?” kata Nenek dengan bercucuran air mata.
Kakek segera memeriksa denyut
nadi Boni. Masih ada. Ia segera mencari dukun di sekitar rumahnya yang bisa
menyembuhkan penyakit. Tak beberapa lama, Kakek kembali bersama sang dukun tua
berjenggot. Dukun itu langsung memeriksa Boni dan menempelkan beberapa daun
yang sudah ditumbuk di kening Boni.
“Pasti obat,” pikir Kakek. “Bagaimana?”
“Sudah parah, doakan saja semoga
lekas sembuh,” jelas sang dukun.
Mendengar hal itu, Kakek merasa
begitu terpukul. Ia melihat Nenek terus menangis di samping Boni.
Tak beberapa lama, dukun pergi
setelah mendapat dua lembar uang lima ribuan. Kakek mondar-mandir gelisah di
depan pintu kamar.
“Boni, mungkin ini saatnya kamu
tahu,” jelas Nenek seelah menghapus air mata dengan bajunya. Ia yakin Boni akan
mendengar.
“Kamu bukan anak haram seperti
yang teman-temanmu katakan. Kamu punya orang tua. Mereka berpisah saat kamu
berumur 7 bulan. Bukan bercerai, hanya berpisah. Nenek juga tak tahu ada
masalah apa. Ayah dan Ibumu sekarang merantau dan menitipkanmu pada Nenek,”
terang Nenek.
Nenek segera menuju kamarnya untuk
mengambil foto orang tua Boni.
“Ini foto orang tuamu. Maafkan Nenek
tak pernah becerita. Nenek takut kamu sedih,” jelas Nenek
Nenek memeluk erat Boni. Air
matanya terurai kembali. Tanpa sengaja Nenek melihat kertas di balik bantal Boni.
Ya
Tuhan, semoga sepasang kupu dayoh itu menandakan kedatangan kedua orangtuaku
Nenek semakin tak mampu menahan
derasnya air mata. Ia ingat bahwa Boni pernah bertanya tentang kupu-kupu yang
berterbangan di rumah. Kupu dayoh. Ia tak menyangka bahwa Boni begitu percaya
pada mitos itu.
Nenek membaringkan kembali Boni
dan menunjukkan kertas itu kepada Kakek. Kakek hanya diam melihat kertas itu.
Ia terlihat begitu sedih, tetapi tak ingin ditunjukkannya.
“Kek, besok kita bawa Boni ke
puskesmas saja?” Tanya Nenek.
“Tapi, Nenek kan tahu kalau Boni
sudah sering ke Puskesmas dan pihak Puskesmas juga sering memberi surat rujukan
ke rumah sakit,” terang Kakek.
“Tak apa, yang penting dapat obat
dulu,” pinta Nenek.
#
Tiga hari kemudian, berita
kematian Boni sudah terebar ke seluruh pelosok desa. Di rumah Boni banyak
sekali orang yang sibuk mengurus pemakaman Boni. Banyak juga yang datang untuk
melayat. Hampir setiap pelayat menyayangkan kematian Boni yang masih muda. Kakek
dan Nenek terlihat lebih tabah daripada ketika Boni menjemput ajalnya. Mereka
hanya bisa duduk menyambut tamu. Entah siapa saja yang datang, mereka tidak
terlalu menghiraukan.
#
Beberapa bulan kemudian, datang
dua orang menggunakan mobil dan berpakainan begitu bagus.
“Mungkin orang yang kaya,” pikir Kakek
dan Nenek.
“Ibu, Bapak!” teriak si perempuan
begitu turun dari mobil.
Nenek dan Kakek celingukan
mencari siapa yang dipanggil. Tapi, hanya mereka yang ada di sekitar
“Ini Donita dan itu Mas Sigit,”
jelas perempuan itu.
Nenek berusaha mengingat nama
itu, tetapi tak berhasil.
“Saya anak Ibu. Ibu dari Boni dan
itu Sigit, Ayah Boni,” terangnya.
Nenek langsung memeluk Donita
dengan deraian air mata. Mereka semua melepas rindu setelah bertahun-tahun tak
bertemu.
“Oh, mana Boni? Pasti ia sudah
besar,” tanya Donita.
“Masuklah dan duduk dulu, nanti
saya antarkan ke Boni,” kata Nenek.
Donita dan Sigit menuruti
kata-kata Nenek untuk masuk ke rumah. Setelah menikmati jamuan, Donita sudah
tak sabar ingin melihat Boni anaknya.
“Ayo Bu, cari Boni!” kata Donita.
Tanpa berkata apapun, Kakek dan Nenek
membimbing Donita dan Sigit ke suatu tempat.
Sebelum keluar, Donita sempat
melihat sepasang kupu dayoh hinggap di dekat pintu rumah.
“Wah, ada kupu dayoh. Pasti penanda
kedatangan kami,” jelasnya.
“Oh ya, kalian sudah bersama
lagi?” tanya Kakek membuka pembicaraan sambil berjalan.
“Iya, kami sadar akan kesalahan
kami dan bersatu kembali demi Boni. Maaf ya Pak, Bu, pasti sudah sangat
direpotkan merawat Boni. Mulai sekarang kami yang akan merawatnya,” jawab
Donita.
“Ini Boni.” Nenek menunjuk batu
nisan yang masih baru.
“Nek, jangan bercanda!” kata Sigit
yang sejak perjalanan hanya diam saja.
Ia terlihat begitu syok. Kakek
menganggukkan kepala untuk meyakinkan Donita dan Sigit. Melihat itu, Donita dan
Sigit merangkul nisan itu dan menangis sekeras-kerasnya. Mereka begitu sedih.
Kakek dan Nenek juga mengeluarkan
air mata. Mereka melihat sepasang kupu dayoh yang ada di rumah tadi hinggap di
bahu Donita dan Sigit tanpa mereka sadari. Cukup lama. Kemudian terbang ke
angkasa dan menghilang dibalik cahaya. Seolah itu Boni. Mengucap pamit pada
orang tua yang belum ditemuinya. Melepas semua kenangan yang harusnya ada.
Kenangan Donita, Sigit, dan Boni. Sekarang semua itu hilang, terbang bersama
kupu dayoh.
End
17-01-10 _ 15:39
Kupu Dayoh
Reviewed by Admin
on
January 27, 2017
Rating:
No comments:
Comment in a good way. It is representing you.